Sabtu, 30 Mei 2015 | 12:09 WIB
TEMPO.CO, Padang - Guru besar Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, mempertanyakan gagasan penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan strata satu (S-1). Penghapusan skripsi itu dia nilai akan melahirkan sarjana pragmatis. Mestika mengatakan menulis skripsi merupakan ujian pertama kesarjanaan. Mahasiswa bisa berpikir secara sistematis dan dituangkan dalam tulisan sesuai hasil penelitian.
"Ini pernah dicoba sekitar tahun 1990-an, bebas skripsi. Mahasiswa jadi tak mampu menulis dan berpikir sistematis," ujar Mestika kepada Tempo, Kamis, 28 Mei 2015. Menurut Mestika, wacana Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir ini tidak tepat. Bongkar-pasang sistem pendidikan Indonesia ini tak akan mencerdaskan bangsa.
Sebelumnya, M. Nasir menilai penghapusan skripsi dianggap bisa menghilangkan praktek kecurangan. Namun, menurut Mestika, itu jalan keluar yang pragmatis. "Pola pikirnya pragmatis. Malas berpikir. Itu khas berpikirnya pemimpin Indonesia. Menghindari, tak memecahkan masalah," katanya. Seharusnya, Mestika menambahkan, ada formula untuk mengontrol praktek kecurangan tersebut. Bukannya dihapuskan. Karena itu, Mestika menantang Menteri Nasir untuk mendiskusikan gagasan ini terlebih dulu sebelum wacana tersebut menjadi peraturan. "Saya mau berdebat dengan Menteri. Silakan dibuat forumnya dan undang saya," tuturnya.
ANDRI EL FARUQI Sumber (nasional.tempo.co)
50% Setuju Skripsi Dihapus
Sabtu, 13 Juni 2015 − 10:16 WIB
Survei Litbang KORAN SINDO terhadap 100 mahasiswa dan SMA di lima kota besar yang berbeda menunjukkan 50% dari mereka setuju skripsi menjadi tidak diwajibkan sebagai prasyarat kelulusan. Alasannya? Sebanyak 22% dari mereka mengakui keribetansaat mengerjakan skripsi menjadi penghambat kelulusan. Selain itu, 9% berpendapat bahwa saat ini banyak sekali kecurangan dan jiplakan dalam membuat skripsi. Jumlah yang sama juga berpendapat bahwa skripsi juga tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur dan menjamin kredibilitas.
Namun, 7% di antara mereka setuju dengan syarat tertentu, yakni ada pengganti yang relevan ke arah pengabdian seperti kuliah kerja nyata (KKN). Wacana mengenai tidak wajib lagi mengerjakan skripsi memang disampaikan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir belum lama ini. Praktik jualbeli skripsi yang masih marak menjadi salah satu alasan utama penghapusan skripsi.
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti Ilah Sailah menilai kecurangan mahasiswa itu sebagai bentuk perilaku tidak bermoral. “Yang bekerja orang lain, yang dapat nilai dia. Tidak fair, tidak adil, dan tidak etis,” katanya kepada GEN SINDO. Karena itu, Ilah menegaskan bahwa mahasiswa harus memerangi keinginan untuk menempuh jalan pintas tanpa mempertimbangkan akibatnya.
Untuk mencapai apa yang dicitacitakan, mahasiswa harus tetap persisten dengan tidak tergiur oleh tawaran-tawaran demi kemudahan untuk mendapatkan selembar kertas bernama ijazah. Ilah menilai skripsi merupakan salah satu cara latihan untuk memformulasikan penyelesaian masalah. Karena belum terputusnya mata rantai kejahatan itu, Ilah memperingatkan juga bagi para dosen supaya lebih mengawasi dan tidak malas dalam membimbing mahasiswanya.
Dimulai dari bagaimana berdiskusi tentang penentuan masalah yang akan diteliti, menentukan metode, bahkan harus rela berdebat dengan mahasiswa. “Jangan hanya terima beres. Terima tulisan, lalu ujian. Kalau dosen tidak cermat membuat pertanyaan, itu berarti hanya normatif, tidak akan ketahuan kalau yang menulis itu bukan yang sedang diuji,” katanya. Problem lain yang jadi alasan penghapusan skripsi adalah masih merebaknya budaya menyalin (copy paste). Untuk menangani hal ini, Ilah mengambil langkah kompetensi. Menurut dia, kalau sudah fokus ke arah kompetensi, kemampuan-kemampuan itu dapat juga dicapai melalui jalan nonskripsi.
Saat ini otonomi akademik sudah diberikan kepada kam
0 komentar:
Posting Komentar