Kamis, 28 Mei 2015 | 15:41 WIB
TEMPO.CO, Malang - Kalangan perguruan tinggi swasta mendukung gagasan penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa program strata satu (S1). Kualitas lulusan sarjana S1 dinilai tidak bisa semata-mata diukur dari karya ilmiah karena faktanya banyak skripsi diperjualbelikan, dipalsukan, dan diplagiasi. Penghapusan skripsi dianggap bisa menghilangkan praktek curang tersebut.
“Kebanyakan skripsi lebih mirip kompilasi materi hasil unduhan dari Internet atau menyadur dari karya orang lain, bukan murni sebagai karya ilmiah si pembuat,” kata Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jawa Timur Suko Wiyono kepada Tempo, Kamis, 28 Mei 2015.
Menurut Suko, di era 80-an tidak ada kewajiban mahasiswa menyusun skripsi. Tanpa skripsi, kata dia, toh banyak perguruan tinggi yang menghasilkan sarjana bermutu dan sukses di beragam bidang profesi. Skripsi bisa diganti dengan pembuatan laporan tentang pembelajaran mandiri dalam bentuk karya tulis yang bersifat opsional.
Ia mengingatkan perguruan tinggi agar lebih membenahi proses belajar-mengajar. Banyak sekali proses belajar-mengajar di perguruan tinggi yang linier, tidak dialogis, tidak demokratis dan hanya menempatkan dosen sebagai sumber tunggal ilmu pengetahuan. Alhasil, para mahasiswa kesulitan memunculkan potensi dan mengembangkan kemampuannya.
Pengelola perguruan tinggi dan tenaga pengajar, ujarnya, harus intensif mendorong para mahasiswa untuk berkarya. Seorang mahasiswa yang mampu menembus jurnal internasional, misalnya, otomatis bisa diluluskan. Mahasiswa yang berhasil sebagai pengusaha pun patut diluluskan tanpa susah payah bikin skripsi.
“Insya Allah dengan begitu bisa menghasilkan sarjana yang berkualitas dan jujur karena kelulusannya dikonversikan dengan tugas akhir yang sesuai dengan praktek. Hasil yang didapatkan lebih empiris. Kalau berupa laporan mengenai kegiatan, saya rasa hasilnya lebih aktual dan berkualitas,” kata Suko Wiyono, yang juga Rektor Universitas Wisnuwardhana, Malang.
Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Agus Maimun, tidak sependapat dengan ide penghapusan skripsi. Alasannya, skripsi merupakan bentuk aktualisasi dari ilmu yang didapatkan mahasiswa selama kuliah. Penulisan skripsi, kata Agus, bisa menjadi media belajar bagi mahasiswa untuk menuangkan pikirannya dalam bentuk karya tulis karena tidak semua orang bisa menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. “Melalui pembuatan skripsi mahasiswa bisa belajar, sekaligus bisa menjadi kenang-kenangan semasa kuliah,” kata Agus.
Bagi mahasiswa yang terhambat kelulusannya karena skripsi, ujar dia, masih bisa diakali dengan mempercepat pengajuan proposal skripsi di akhir semester enam sehingga mahasiswa punya waktu cukup untuk mengerjakan skripsi dan tamat belajar tepat waktu.
ABDI PURMONO Sumber (nasional.tempo.co)
0 komentar:
Posting Komentar