Kamis, 02 Januari 2014

KOMPETENSI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT DALAM MEMIMPIN PUSKESMAS

Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) dalam Memimpin Puskesmas 

 

Oleh: Hariaty Burhan


       Puskesmas adalah unit pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan dengan tiga fungsi utama, yaitu: (1) sebagai pusat pengembangan kesehatan masyarakat; (2) sebagai pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuannya untuk hidup sehat; dan (3) sebagai pusat pemberian pelayanan kesehatan secara menyeluruh, terpadu, dan bermutu kepada masyarakat.
      Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan oleh Puskesmas dan jaringannya, yang meliputi Puskesmas, Puskesmas Bantu (Pustu), Puskesmas Keliling, dan Bidan di Desa merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berdasarkan prinsip nondiskriminstif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.  Selain itu puskesmas dan jaringannya secara langsung juga bertanggungjawab dalam meningkatkan kemandirian masyarakat utnuk hidup sehat dalam lingkungan yang sehat melalui pendekatan azas pertanggunjawaban wilayah azas peran serta masyarakat, azas keterpaduan lintas program dan lintas sektor serta azas rujukan.
       Puskesmas sebagai salah satu institusi pelayanan umum dapat dipastikan membutuhkan pemimpin yang mampu membuat, mengembangkan, memonitor, mengevaluasi, dan menjamin terselenggaranya program-program yang dirancang untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang tertuang dalam bentuk kebijakan-kebijakan kesehatan.
       Berdasar Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No. 128 tahun 2004 tentang kebijakan Puskesmas, Bab III, sub organisasi, poin dua mengenai kriteria personalia, yang menyebutkan: " Kriteria Personalia yang mengisi struktur organisasi Puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing unit Puskesmas. Khusus untuk Kepala Puskesmas kriteria tersebut dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat".
        Saat ini Puskesmas lebih banyak dipimpin bukan oleh Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM), jabatan kepala Puskesmas lebih didominasi tenaga medis dokter maupun dokter gigi. Namun realitas yang terjadi di setiap Puskesmass tingkat kecamatan umumnya mempunyai seorang dokter yang merangkap sebagai kepala puskesmas, biasanya menyita waktu pelayanannya bagi masyarakat. Akibatnya penanganan pasien lebih banyak diserahkan kepada tenaga perawat dan bidan. Keadaan ini memang dilematis. Di satu sisi sebagai seorang dokter Puskesmas ia dituntut untuk berperan serta memberikan pelayanan medis, namun disisi lain tugas administrasi sebagai kepala puskesmas justru menggangu tugas pelyanannya sebagai dokter. Dominasi tenaga kesehatan di Puskesmas lebih berorientasi pada pelayanan "kuratif". Bahkan di setiap desa hampir ditemukan dua atau tiga orang bahkan lebih yang berorientasi pada pelayanan kuratif. Sementara jangankan di setiap desa tersedia tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM), seperti ahli gizi, maupun penyuluh kesehatan, bahkan dibeberapa Puskesmas tidak ditemukan profesi-profesi kesehatan yang lebih berorientasi "promotif dan preventif". Padahal profesi ini diharapkan bertindak sebagai penyeimbang dalam melayani masyarakat, namun kenyataannya profesi ini ditengah-tenngah masyarakat belum banyak mendapatkan perhatian atau diperhitungkan (baik sektor pemerintah maupun swasta).
        Hasil survei di 100 Puskesmas di 10 kabupaten/kota menunjukkan sebagian besar pasien dilayani oleh tenaga perawat/bidan di puskesmas meskipun dokter hadir. Ironisnya, hasil survei SMERU juga menemukan bahwa dokter kepala puskesmas dan tenaga medis lainnya memberikan pelayanan pasien pribadi pada jam kerja puskesmas. Pasien yang ingin mendapat pelayanan dan obat yang lebih baik umumnya memilih berobat ke dokter kepala puskesmas meskipun harus membayar dengan biaya tinggi. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan fungsi puskesmas yaitu sebagai tempat alternatif berobat bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Definisi Kesehatan Masyarakat

      Kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk meningkatkan sanitasi lingkungan, kontrol infeksi di masyarakat, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan, pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan, untuk diagnosa dini, pencegahan penyakit dan pengembangan aspek sosial, yang akan mendukung agar setiap orang di masyarakat mempunyai standar kehidupan yang adekuat untuk menjaga kesehatannya.
       Ilmu kesehatan masyarakat ialah ilmu dan seni untuk meningkatkan taraf hidup , masyarakat yang meliputi upaya-upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, keluarga maupun perorangan serta peyehatan lingkungan hidupnya dalam bentuk fisik, sosial-ekonomi dan sosio-cultural dengan mengikut sertakan masyarakat. (IAKMI)

Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat

      Tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) baik strata satu maupun strata dua adalah salah satu tenaga di bidang kesehatan yang memiliki ilmu manajemen yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Ditinjau dari kurikulum pendidikan Fakultas Kesehatan Masyarakat maka kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) khususnya jurusan administrasi kebijakan kesehatan dalam kaitannya dengan manajemen puskesmas sudah memadai. Dimana kompetensi yang dimiliki yaitu mencakup: (1) memiliki kemampuan menganalisis dan sintesis permasalahan kesehatan masyarakat  dan upaya mengatasi masalah tersebut (2) memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menyusun, mengelola dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat, dan (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menyusun proposal penelitian, manajemen kesehatan dan melaksanakannya dengan baik.
        Tanpa disadari bahwa tugas atau area profesi kesehatan masyarakat sangat luas.  Peningkatan kesehatan (promotif) dan juga pencegahan penyakit ( preventif) merupakan salah satu keahlian Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) dimana kegiatan riil ini untuk mencegah terjadinya berbagai masalah kesehatan, khususnya yang diakibatkan oleh lingkungan yang kurang sehat (penyakit berbasis lingkungan). Kompetensi yang dimiliki SKM sangatlah cocok untuk diaplikasikan di wilayah kerja Puskesmas dimana berguna untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
        Kompetensi yang dimiliki Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) sangatlah bermanfaat dalam mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan. Misalnya pada kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), kasus ini sebenarnya bisa dicegah jika para profesi kesehatan masyarakat ditempatkan dengan baik di struktural pemerintah. Dimana disesuaikan bidang yang ditekuni, namun realita yang ada pemeritah melalui Departemen Kesehatan serta jajarannya belum memnafaatkan profesi kesehatan masyarakat secara maksimal. Masih banyak kegiatan yang seharusnya dapat ditangani oleh profesi kesehatan masyarakat, tetapi belum dianggap perlu. Sisi lain jika penyakit sudah mewabah, pemerintah kemudian bertanya-tanya mengapa hal tersebut bisa terjadi.
         Hal-hal yang terjadi dalam lingkungan masyarakat tentunya memberi peluang bagi Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) untuk memimpin Puskesmas atau menjadi seorang kepala Puskesmas dimana seorang kepala Puskesmas yang merupakan ahli kesehatan masyarakat mampu melakukan berbagai kreasi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Dominasi Dokter

         Dominasi dokter bukan hal asing lagi dalam dunia kesehatan di Indonesia. Jika kita sakit, kita pergi ke dokter. Profesi dokter memang yang 'paling kuat' diantara sekian profesi kesehatan yang ada. Dokter pula yang mendiagnose dan mengobati penyakit. Dokter yang memberikan resep, melakukan pembedahan/operasi, merujuk pasien ketempat-tempat fasilitas kesehatan lainnya.  Dokter yang menentukan seseorang sakit atau sehat; dokter pula yang mengeluarkan sertifikat kelahiran atau kematian. Bahkan dokter yang menyatakan seseorang cukup memenuhi syarat kesehatan atau tidak untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden kita melalui Ikatan Dokter Indonesia (Pikiran Rakyat, 2004)      
      Saat ini Puskesmas lebih banyak dipimpin bukan oleh Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) justru dominasi dokter yang menjabat sebagai kepala Puskesmas padahal keterampilan seorang dokter lebih bermanfaat untuk clinical care, meskipun sebagian besar pendidikan dokter memasukkan mata kuliah manajemen program kesehatan masyarakat (lebih kurang untuk kegiatan pelayanan di Puskesmas). Jika dilihat perbandingan antara kurikulum pendidikan antara SKM dan dokter, terlihat seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat lebih memiliki keahlian yang diharapkan untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Puskesmas. Hal ini karena seorang pemimpin Puskesmas harus mampu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan manajemen Puskesmas. Namun, keberhasilan kepemimpinan Puskesmas oleh seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) kembali lagi kepada kecerdasan orang tersebut untuk mengaplikasikan ilmunya di Puskesmas. Dengan dasar tersebut, seorang pemimpin Puskesmas dibutuhkan dari seorang yang telah menduduki eselon III B dengan harapan orang tersebut telah banyak pengalaman dalam pekerjaannya di Puskesmas.
     Terkait hal diatas, realita yang ada dimana dokter lebih mendominasi jabatan kepala Puskesmas dikarenakan persoalan besar yang ada saat ini adalah faktanya bahwa pola kompetensi SDM di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan masih terjebak dalam pola yang tidak memprioritaskan pada kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bayangkan bila SDM yang memiliki latar belakang pendidikan SKM misalnya ditempatkan sebagai staf biasa atau staf administrasi atau dokter ditempatkan sebagai penyuluh kesehatan. Tentu hal tersebut cenderung mematikan potensi peran individu sebagai tenaga kesehatan profesional. Seharusnya, kompetensi untuk menduduki suatu jabatan dianalisis secara detail tentang latarbelakang pendidikan yang dikaitkan dengan kemampuan dan keterampilan standar yang dimiliki seseorang.

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) lebih ideal memimpin Puskesmas

       Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmaas. Pemerintah menetapkan kriteria personalia yang mengisi struktur organisasi Puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing unit Puskesmas.
         Bahwa dari kutipan diatas, dapat dilihat bahwa seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) lebih ideal dan berhak menduduki jabatan sebagai kepala Puskesmas karena dalam kurikulum yang diajarkan pada semua intitusi pendidikan kesehatan masyarakat khususnya Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) sudah mencakup secara keseluruhan mengenai ilmu kesehatan masyarakat (ilmu kesehatan masyarakat yang dimiliki 100%). Mengenai pernyataan untuk kepala Pukesmas kriterianya harus seorang sarjan dibidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat, tentu yang dimaksud adalah seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Namun realita yang ada, pelaksanaan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128 tahun 2004 belum direalisasikan sepenuhnya. Penetuan dan penempatan jabatan di era otonomi daerah di beberapa wilayah kabupaten/kota lebih diwarnai oleh "sistem kekerabatan/kedekatan" serta tidak lagi mempertimbangkan kompetensi, kapasitas, kapabilitas, dan Daftar Urutan Kepangkatan. Seringkali ditemukan institusi kesehatan dipimpin oleh orang yang tidak kompeten dan tidak mempunyai pengalaman dibidang kesehatan dan manajemen kesehatan sehingga kinerja pegawai dan kinerja institusi yang dipimpinnya kurang optimal.

Solusi yang ditawarkan

     Dikutip dari salah satu pernyataan forum group Public Health mengenai adanya pergesaran dari paradigma "sakit" ke paradigma "sehat", maka tentu diperlukan redefinisi dari "Primary Health Care" (PHC) yang berkaitan dengan status dan fungsi puskesmas. Puskesmas nantinya bisa saja sama sekali tidak berurusan dengan fungsi-fungsi kuratif dan rehabilitatif yang merupakan bagian dari "Secondary" atau "Tertiary Health Care". Dengan redefinisi dari Puskesmas sebagai PHC yang hanyaberkaitan dengan fungsi preventif dan promotif, agaknya sesuailah kalau kepala Puskesmas adalah seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM), sehingga  dokter bisa lebih mengkonsentrasikan dirinya pada fungsi-fungsi kuratif dan rehabilitatif.
        Solusi yang lebih penting atau patut diperhatikan yaitu harus ada kejelasan tentang prospek jenjang karir Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Pemerintah atau khususnya pihak Departemen Kesehatan dan pihak terkait lainnya harus menyadari dan memberikan perhatian yang serius menganai ke arah mana SKM akan dikembangkan. Jangan slogan pencegahan lebih baik dari pengobatan hanya menjadi wacana semata. Bila memang seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) diniati untuk bisa mengisi top managment  Puskesmas, maka mahasiswa kesehatan masyarakat dengan kualifikasi dan kompetensi macam apa yang berhak menduduki jabatn tersebut.
        Salah satu profesi dalam menduduki jabatan kepala Puskesmas, akan lebih adil jika rekrutmen kepala Puskesmas dilakukan secara terbuka/transparan. Pemerintah daerah sebagai pemilik Puskesmas berwenang menetapkan kualifikasi secara terbuka ketika mencari posisi kepala Puskesmas. Siapa pun yang memenuhi syarat berhak mengajukan lamaran dan melalui sebuah rangkaian seleksi yang transparan, pemerintah pun bisa memprediksi kemampuan yang dimiliki seorang SKM dalam memimpin Puskesmas.
       Saran yang paling utama adalah memberikan kesempatan kepada seorang SKM, untuk memimpin Puskesmas. Seringkali masalah utama yang muncul adalah tentang ekeprcayaan para pembuat kebijakan untuk memberi SKM kesempatan menjadi kepala Puskesmas.

Buat para Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) maupun calon SKM

          Mengutip salah satu kalimat motivasi dalam buku yang berjudul "Change Your Thinking Change Your Life" oleh Brian Tracy.


Satu-satunya hal yang dapat menghalangi terciptanya masa depan kita adalah keraguan kita akan hari ini. Oleh karena itu, majulah terus dengan keyakinan yang kuat dan penuh.
--Franklin Delemo Roosevelt

      Diatas jelas mengisyaratkan bahwa sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) maupun calon Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) harus terus mengasah potensi dahsyat yang ada dalam diri sebagai calon pemimpin kedepannya dan tentunya membuktikan bahwa Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) lebih kompeten untuk menduduki jabatan kepala Puskesmas. Untuk mendapatkan reputasi atau kepercayaan masayarakat, kita harus menunjukkan bahwa kita benar-benar sangat bagus dalam area tersebut. Selain itu, spesialisasikan diri pada bidang yang dikuasai, apakah itu bidang promotif, epidemiologi, maupun bagian manajemen kesehatan (administrasi kebijakan keshatan). Lagipula menjadi Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) adalah sebuah kebanggan dan profesi yang mulia. Mengapa demikian? karena masalah kesehatan masyarakat sangatlah kompleks  dan meneylesaikannya tidak semudah yang kita pikirkan. Namun, upaya preventif menjadi solusi untuk menangani masalah tersebut. Yah..upaya preventif adalah solusi untuk negeri ini guna mewujudkan Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2015.


Referensi:


Pikiran Rakyat, 2004. IDI Periksa Kesehatan Capres dan Cawapres. Online (www.pikiran rakyat.com/cetak/0404/16/0104.htm, diakses 4 Januari 2012.
Public Health. 1998. Sarjana Kesehatan Masyarakat menjadi kepala puskesmas. Online (http://health.groups.yahoo.com/group/public-health/message/108), diakses  9 Januari 2012.
SMERU. 2004. Basic Health Services in The Era Of Regional Autonomy. Lembaga Penelitian SMERU
Soegianto, Benny.2007. Kebijakan Dasar Puskesmas (Kepmenkes No.128 th 2004).Indonesia Sehat 2010

0 komentar:

Posting Komentar